islam religion

Saturday, April 14, 2007

Abu Dujana

Abu Du(r)jana
Oleh M. Guntur Romli
03/04/2007

Abu Dujana adalah nama samaran. Nama aslinya Ainul Bahri. Ia dibesarkan di Cianjur, Jawa Barat. Ainul Bahri terpengaruh ideologi negara Islam versi Darul Islam (DI) dari guru ngajinya yang juga tokoh DI, Dadang Hafidz. Pada tahun 80-an, seperti halnya tokoh-tokoh teroris Indonesia dan dunia, Ainul Bahri berangkat ke Afghanistan untuk berjihad melawan Uni Soviet. Di sana, ia memilih nama baru: Abu Dujana.

Dalam dua pekan ini kita disuguhi rangkaian berita utama: polisi sedang memburu kawanan teroris pimpinan Abu Dujana. Abu satu ini, bukan seperti Abu Nawas yang pandai mengocok perut melalui humor. Sebaliknya, Abu ini mahir mencolok takut melalui teror. Ia selicin belut, selincah bajing, dan selicik kancil. Dalam operasi penangkapan di Jogja, ia lolos. Polisi hanya mampu mencokok beberapa anak buahnya. Hingga kini ihwal Abu Dujana masih raib.

Tak banyak orang mengenal nama ini. Konon dia adalah pengganti Dr. Azahari setelah terbunuh, dan mitra-setia Noordin M Top, buruan teroris nomor wahid. Ia adalah tokoh kunci kelompok Jamaah Islamiyah (JI) saat ini. Abu Dujana juga disinyalir berandil besar dalam peledakan bom di Indonesia, khususnya di Poso.
Abu Dujana adalah nama samaran. Nama aslinya Ainul Bahri. Ia dibesarkan di Cianjur, Jawa Barat. Ainul Bahri terpengaruh ideologi negara Islam versi Darul Islam (DI) dari guru ngajinya yang juga tokoh DI, Dadang Hafidz. Pada tahun 80-an, seperti halnya tokoh-tokoh teroris Indonesia dan dunia, Ainul Bahri berangkat ke Afghanistan untuk berjihad melawan Uni Soviet.
Di sana, ia memilih nama baru: Abu Dujana. Bersama teman-temannya dari seluruh pelosok dunia, ideologinya yang berbasis kekerasan diperkokoh dan dididik secara militer oleh kelompok Mujahidin, tentara Pakistan, dan dinas rahasia Amerika.

Ketika nama Abu Dujana disebut-sebut polisi dan media massa, saya teringat seorang wira dalam Perang Uhud di zaman Nabi dulu. Abu Dujana adalah nama panggilan Sammak bin Kharsyah. Ia terkenal karena keberanian dan keganasannya membantai musuh. Ia bergelar “Si Pita Merah-Maut”, karena dalam setiap peperangan selalu mengenakan seutas pita merah yang dililitkan di kepala. Bila pita itu sudah diikat, ia bagai malaikat maut yang menerobos barisan musuh, dan siap mencabut nyawa.

Alkisah, sebelum dimulai perang Uhud, Nabi mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu berseru, “Siapa yang sanggup membawa pedang ini?” Banyak yang berebut maju seperti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, dan lain-lain. Membawa pedang Rasulullah merupakan keistimewaan. Namun Nabi malah memberinya kepada Sammak alias Abu Dujana. Sejak peristiwa Perang Uhud itu, nama Abu Dujana tersiar masyhur.
Rupanya Si Ainul Bahri kagum pada kisah kepahlawanan Abu Dujana, sehingga mengambil namanya sebagai gelar dan samaran. Kebiasaan ini—menggunakan doktrin, dan nama tokoh perang Islam zaman Nabi—lazim dilakukan kelompok teroris dan beberapa aktivis Islam. Selepas melakukan sumpah setia pada amir dan jamaah—yang disebut bay’at—mereka seperti memasuki dunia baru, melepaskan masa lalunya dengan memilih nama anyar.
Nama yang kurang Islami diubah, misalnya dari “Gatot” jadi “al-Khaththath”, atau menyematkan nama anaknya dengan menambahkan kata “Abu” artinya “bapak”.
Si Udin yang punya putri bernama Hindun akan disebut Abu Hindun. Saat Si Udin dipanggil Abu Hindun, tidak terasa lagi Sundanya, ia bagai orang Arab, bahkan merasa seperti sahabat Nabi. Tak sampai di situ, ada kebiasaan baru yang diamalkan: memelihara janggut walau beberapa helai, memakai sorban dan gamis di atas mata kaki. Bila belum beranak-pinak, mereka bisa memilih nama dari pahlawan perang Islam yang diidolakan, seperti Abu Dujana.

Namun ada hal yang dilupakan Ainul Bahri dari peristiwa Perang Uhud. Meski Abu Dujana bertempur dengan penuh keberanian, kaum muslim tetap menderita kekalahan, setelah di awal-awal berhasil mendesak mundur lawan mereka. Kekalahan itu akibat kesalahan strategi. Satu regu pemanah yang bertugas melindungi pasukan Islam di punggung gunung Uhud meninggalkan posisinya karena tergiur harta rampasan perang. Celah itu dimanfaatkan lawan untuk menyerang balik dari belakang.

Saya yakin, soal strategi ini yang mungkin dialpakan Abu Dujana bersama jamaahnya. Masalahnya bukan hanya soal keberanian, ataupun ideologi yang diklaim paling benar. Tidakkah mereka melihat, dengan strategi teror, kekacauan, dan peledakan di mana-mana, mereka telah membuka celah, sehingga “lawan” balik menyerang?
Dahulu sosok Sammak adalah Abu Dujana yang hadir dalam perang melawan kelaliman. Kini Ainul Bahri malah menghadirkan kezaliman: durjana dan angkara murka. Dia bukan Abu Nawas, bukan Abu Dujana, tapi Abu Durjana. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1234

artikel M. Guntur Romli lainnya:
30/03/2007Benturan Antar-Islam19/02/2007Imlek29/01/2007Neraka Amerika11/12/2006Dari Qasim Untuk Aa Gym04/12/2006Memaknai Kembali JihadTotal 33 artikelLebih lengkap lihat biodata penulisartikel baru09/04/2007Gagasan Negara Islam Belum Menarik03/04/2007Umdah El-BarorohPrestasi Besar Peradaban Manusia03/04/2007Pendidikan Kita Belum Sampai Beirut30/03/2007M. Guntur RomliBenturan Antar-Islam28/03/2007Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!artikel sebelumnya03/04/2007Umdah El-BarorohPrestasi Besar Peradaban Manusia03/04/2007Pendidikan Kita Belum Sampai Beirut30/03/2007M. Guntur RomliBenturan Antar-Islam

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home